PENENTUAN HILAL DAN RUKHYATUL HILAL
PENENTUAN
HILAL DAN RUKHYATUL HILAL
A.
HILAL
Dalam hisab dan Rukyatul
hilal ada beberapa istilah yangan kita bahas sebelum kita membahas tentang
metode hisab dan rukhyatul hisab.
Hilal
merupakan bulan yang
mengitari bumi, memiliki
fase tersendiri dalam setiap putarannya selama 29-30 hari/bulan. Setiap fase
memiliki tandatersendiri, seperti bulan baru, bulan sabit, setengah purnama,
3/4 purnama, purnama, bulan tua, bulan mati.Hilal termasuk suatu fase awal
bulan yang dapat dilihat oleh seseorang.Hilal adalah bulan
sabit pertama yang dapat teramati/terlihat di ufuk barat beberapa saat setelah
maghrib/matahari terbenam”.Waktu Hilal muncul dan terlihat berkisar antara 10-40 menit setelah itu bulan terbenam.
Secara umum
Hilal memang identik dengan bulan sabit yang merupakan satu dari beberapa fase
bulan, tapi jika dibahas lebih detil maka ada beberapa perbedaan, hal ini
dikarenakan bulan sabit terdiri dari dua jenis yaitu:
1.
Bulan
sabit awal (waxing crescent).
Hilal dalam konteks penentuan awal
bulan Qamariyah adalah seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, yaitu bulan sabit
pertama yang dapat terlihat di ufuk Barat beberapa saat setelah matahari
terbenam. Dari sisi bentuk, fase ini berbentuk seperti huruf “C yang terbalik”
atau “C yang diputar 180 derajat”, sedangkan bulan sabit yang pertama yang
dapat dilihat juga berbentuk sama seperti itu (walau terkadang terlihat seperti
bentuk huruf “C yang diputar 270 derajat” yang juga mirip-mirip dengan huruf
“U”) yang cahayanya masih sangat tipis dan belum terlalu terang (hanya sekitar
1% dari cahaya saat fase purnama), warnanya kuning keputihan atau kuning
keemasan. Pada bulan sabit selanjutnya (yaitu mulai hari ke-2 suatu bulan
Qamariyah) cahayanya akan semakin terang dan irtifa`-nya juga akan semakin
naik/tinggi.
2.
Bulan
sabit akhir (waning crescent)
Fase ini disebut juga bulan tua (Hilal
akhir) atau Hilal ats-Tsani.Bulan sabit ini bukanlah Hilal
yang dimaksud sebagai Hilal dalam penentuan awal bulan Qamariyah. Dari sisi
bentuk, bulan tua berbentuk seperti huruf “C” (walau terkadang terlihat seperti
bentuk huruf “C yang diputar 270 derajat” yang juga mirip-mirip dengan huruf
“U”).
Berbeda dengan bulan sabit awal, bulan
tua ini sudah dapat teramati atau terlihat di ufuk Timur sebelum
shubuh matahari terbit pada beberapa hari terakhir pada suatu bulan
Qamariyah.Ketika matahari terbit dan langit semakin cerah, bulan tua
perlahan-lahan memudar hingga akhirnya cahaya matahari menghilangkan bulan tua
dari pandangan manusia, meskipun sebenarnya Hilal tua masih ada di langit.
Bulan tua terbenam beberapa jam atau beberapa saat sebelum matahari terbenam di
ufuk Barat, dan hal ini dapat mengecoh orang yang kurang paham tentang Hilal
sehingga dapat mengira bulan tua yang terlihat di akhir bulan sebagai bulan
sabit awal (Hilal).
Ijtima’ yaitu bertemunya posisi bulan dan
matahari dalam satu garis edar (bertemu pada bujur eliptik yang sama atau segarisnya
bulan dan matahari). Pengertian dari sisi fase bulan: ijtima` adalah bulan
baru, dan dapat disebut juga bulan mati. Disebut demikian karena pada saat
ijtima` bulan lalu telah berakhir dan bulan baru telah muncul.
Pada waktu
tertentu, pada saat terjadi ijtima` ditandai dengan gerhana matahari, sehingga
dapat dikatakan gerhana matahari (yang pada saat itu posisi bulan dan matahari
bertemu pada bujur eliptik dan lintang eliptik yang sama) adalah ijtima` yang
dapat terlihat/teramati. Periode dari satu ijtima` ke ijtima` berikutnya
disebut sebagai periode ‘sinodis bulan’ yang lamanya 29 hari 12 jam, 44 menit
2.8 detik atau 29.53059 hari. Sehingga sangat beralasan secara ilmiah jika
dalam satu bulan Qamariyah lama harinya adalah 29 atau 30 hari.
FalakIlmu falak adalah ilmu yang
mempelajari tempat peredaran benda-benda langit, termasuk menghitung posisi
benda-benda langit tersebut, terutama posisi bulan dan matahari dilihat dari
sisi pengamat di bumi. Ilmu falak yang lebih mengkhususkan untuk mengkaji, menghitung, menentukan
Hilal, gerhana, waktu shalat, dan arah kiblat disebut sebagai ilmu falak syar`i
atau ilmu falak ibadah.Terdapat perbedaaan antara ilmu falak dengan dengan
astronomi, yaitu astronomi lebih umum dalam mempelajari tentang benda-benda
langit, tidak hanya lintasannya saja.
Irtifa` adalah sisi penentuan Hilal yang dimaksud irtifa` adalah
ketinggian Hilal (sudut elevasi Hilal) di atas ufuk.
B.
HISAB
1.
Pengertian Hisab Awal Bulan
Menurut Syaugi Mubarok (1:2007)
Hisab atau ilmu hisab merupakan padanan dari ilmu falak yakni salah satu cabang
ilmu astronomi terapan yang membahas penentuan waktu ibadah dengan cara
menghitung posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Penentuan awal bulan dan
awal tahun dengan menggunakan ilmu hisab adalah sebagai alternatif dalam
penentuan awal Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah. Ada dua metode hisab yang
lazim digunakan, yaitu hisab urfi dan hisab hakiki. Hisab urfi berasal dari
penyimpulan rata-rata lamanya umur bulan Qamariyah. Metode ini menentukan umur
bulan-bulan ganjil 30 hari dan umur-umur bulan genap 29 hari. Sedangkan hisab
hakiki, menentukan bahwa bulan baru dipastikan masuk bila pada waktu maghrib hilãl diperhitungkan
berada di atas ufuk.
Kata-kata hisab yang digunakan dalam bahasa Indonesia
berasal dari bahasa Arab al-hisab. Dalam bahasa Arab, kata al-hisab ini
mengandung beberapa pengertian, diantaranya: kumpulan orang banyak (al-jam’u
al-kasir), yang mencukupi (al-kafi) dan hitungan atau perhitungan (al-‘addu
atau al-muhasabat). Pengertian yang terakhir ini yang banyak diserap dan
digunakan dalam bahasa Indonesia apabila menyebutkan kata “hisab” (al-hisab).
Berdasarkan pada pengertian menurut bahasa tersebut
maka kata al-hisab menurut istilah, yakni sebagai suatu disiplin ilmu (ilmu
al-hisab) diartikan dengan “ilmu pengetahuan yang membahas tentang seluk beluk
perhitungan”. Kata al-hisab dalam pengertian ini, dalam bahasa Inggris dikenal
dengan istilah arithmatic.
Bila dikaitkan dengan hisab awal bulan berarti
melakukan perhitungan untuk menentukan kapan terjadinya tanggal satu setiap
bulan, baik dalam kalender Masehi, Hijriyah maupun Jawa Islam.
2. Metode dan
Aliran Hisab Awal Bulan
Seperti yang telah dijelaskan, bahwa ada beberapa
metode hisab yang sering lazim digunakan. Metode dan aliran hisab awal bulan
dapat dikelompokkan menjadi:
a.
Hisab urfi
Hisab ini dinamakan hisab urfi karena kegiatan
perhitungannya dilandaskan kepada kaidah-kaidah yang bersifat tradisional atau
kebiasaan yaitu dibuatnya anggaran-anggaran dalam menentukan perhitungan
masuknya awal bulan itu. Anggaran yang dipakai didasarkan pada rata-rata bumi
mengelilingi matahari untuk kalender Masehi, atau peredaran bulan mengelilingi
bumi untuk kalender Hijriyah dan Jawa-Islam.
Hisab urfi mempunyai anggaran yang tetap dan beraturan
yaitu untuk bulan Januari 31 hari, Pebruari 28 atau 29 hari, Maret 31 hari,
April 30 hari begitu seterusnya (untuk kalender Masehi). Demikian juga Muharram
30 hari, Shafar 29 hari, Rabi’ul awwal 30 hari dan seterusnya secara bergantian,
kecuali untuk tahun kabisat yang terjadi 11 kali setiap 30 tahun, bulan
Dzulhijjah dihitung 30 hari (untuk kalender Hijriyah). Suro 30 hari, Sapar 29
hari, Mulud 30 hari dan begitu seterusnya secara bergantian, kecuali untuk
tahun kabisat yang terjadi 3 kali setiap 8 tahun, bulan Besar dihitung 30 hari
(untuk kalender Jawa-Islam).
b.
Hisab Hakiki
Hisab
hakiki ini digunakan dalam penentuan awal bulan dalam kalender Hijriyah. Hisab
ini dinamakan hisab hakiki karena penentuan tanggal satu setiap bulannnya didasarkan
kepada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya. Menurut sistem ini umur tiap
bulan tidaklah tetap dan juga tidak beraturan, melainkan kadang-kadang 2 bulan
berturut-turut umurnya 29 hari atau 30 hari, atau kadang-kadang pula bergantian
seperti menurut perhitungan hisab urfi.
Dalam
praktek perhitungannya, sistem ini mempergunakan data sebenarnya dari gerakan
bulan dan bumi serta mempergunakan kaidah-kaidah ilmu ukur segitiga bola.Sistem
hisab hakiki dianggap lebih sesuai dengan yang dimaksud oleh syara’ sebab dalam
prakteknya sistem ini memperhitungkan kapan hilal akan muncul atau wujud.
Sehingga sistem hisab inilah yang dipergunakan orang dalam menentukan awal
bulan yang ada kaitannya dengan pelaksanaan ibadah.Hisab hakiki dapat
dikelompokkan menjadi:
·
Hisab hakiki
taqribi
Kelompok ini mempergunakan data bulan dan matahari
berdasarkan data dan tabel Ulugh Beik dengan proses perhitungan yang sederhana.
Hisab ini hanya dengan cara penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian
tanpa mempergunakan ilmu ukur segitiga bola. Metode koreksinya tidak begitu
halus. Demikian juga metode penentuan tinggi hilal sangat sederhana dengan cara
membagi dua waktu antara waktu ijtima’ dengan waktu terbenam matahari. Secara
fisik metode ini masih mempergunakan ilmu astronomi Ptolomeus yang masih
menganut prinsip geosentris yang sudah ditumbangkan oleh Galileo Galilei dan
digantikan dengan prinsip heliosentris oleh Copernicus.
·
Hisab hakiki
tahqiqy
Inti dari sistem ini adalah menghitung atau menentukan
posisi matahari, bulan dan titik simpul orbit bulan dengan orbit matahari dalam
sistem kooordinat ekliptika. Artinya sistem ini mempergunakan tabel-tabel yang
sudah dikoreksi dan mempergunakan perhitungan yang relatif lebih rumit daripada
kelompok hisab hakiki taqribi serta memakai ilmu ukur segitiga bola.
·
Metode hisab
hakiki kontemporer
Metode ini menggunakan hasil penelitian terakhir dan
menggunakan matematika yang telah dikembangkan. Metodenya sama dengan metode
hisab hakiki tahqiqi hanya saja sistem koreksinya lebih teliti dan kompleks
sesuai dengan kemajuan sains dan teknologi. Rumus-rumusnya lebih disederhanakan
sehingga untuk menghitungnya dapat digunakan kalkulator atau komputer.
Disamping terbagi menjadi beberapa metode di atas,
hisab hakiki juga terbagi menjadi beberapa aliran dalam menentukan masuknya
awal bulan yaitu:
a. Aliran yang
berpedoman kepada ijtima’ qablal ghurub
Aliran ini menetapkan bahwa jika ijtima’ terjadi
sebelum matahari terbenam, maka malam harinya sudah dianggap bulan baru, sedang
jika ijtima’ terjadi setelah matahari terbenam maka malam itu dan keesokan
harinya ditetapkan sebagai tanggal 30 bulan yang sedang berlangsung. Sistem ini
sama sekali tidak mempersoalkan rukyat. Juga tidak memperhitungkan posisi hilal
dari ufuk. Asal sebelum matahari terbenam sudah terjadi ijtima’, walaupun hilal
masih di bawah ufuk, maka malam hari itu berarti sudah termasuk bulan baru.
Sistem ini lebih menitikberatkan kepada penggunaan
astronomi murni. Dalam ilmu astronomi dikatakan bahwa bulan baru itu terjadi
sejak matahari dan bulan dalam keadaan konjungsi (ijtima’). Sistem ini
menghubungkan ijtima’ dengan saat terbenam matahari, sebab mempunyai anggapan
bahwa hari menurut Islam adalah dimulai dari terbenam matahari sampai terbenam
matahari berikutnya. Malam mendahului siang. Jadi logikanya menurut sistem ini,
bahwa ijtima’ adalah pemisah diantara dua bulan Qamariyah, namun oleh karena
hari menurut Islam dimulai sejak terbenam matahari, maka kalau ijtima’ terjadi
sebelum terbenam matahari, malam itu sudah dianggap masuk bulan baru dan kalau
ijtima’ terjadi setelah terbenam matahari maka malam itu masih merupakan bagian
dari bulan yang sedang berlangsung.
b. Aliran yang
berpedoman kepada ijtima’ qablal fajri
Seperti apa yang disinyalir oleh beberapa ahli bahwa
akhir-akhir ini timbul suatu pendapat baru yang menghendaki permulaan bulan
Qamariyah ditentukan oleh kejadian ijtima’ sebelum terbit fajar. Alasannya
karena saat terjadi ijtima’ tidak ada sangkut pautnya dengan kejadian matahari
terbenam dan tidak ada dalil yang kuat bahwa batas hari adalah saat matahari
terbenam.
Menurut sistem ini, jika ijtima’ terjadi sebelum
terbit fajar, maka malam itu sudah masuk awal bulan baru, walaupun pada saat
matahari terbenam pada malam itu belum terjadi ijtima’.
Jika kita perhatikan, pendapat ini semata-mata
berpegang pada astronomi murni dan menentukan saat terbitnya fajar sebagai
permulaan hari. Pendapat ini mengambil pengertian dari perintah dimulainya
berpuasa secara harian. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat
187: “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam
yaitu fajar”.
c. Aliran yang
berpedoman kepada posisi hilal di atas ufuk hakiki
Menurut aliran ini untuk masuknya tanggal satu bulan
Qamariyah, posisi hilal harus sudah berada di atas ufuk hakiki. Dimaksud dengan
ufuk hakiki, adalah bidang datar yang melalui titik pusat bumi dan tegak lurus
pada garis vertikal dari si peninjau. Sistem ini tidak memperhitungkan pengaruh
tinggi tempat si peninjau. Demikian pula jari-jari bulan, parallaks dan refraksi
tidak turut diperhitungkan. Sistem ini memperhitungkan posisi bulan tidak untuk
dilihat. Lain halnya dengan perhitungan matahari terbenam, aliran ini
memperhitungkan unsur-unsur di atas, sebab mereka mempergunakan pengertian
terbenam matahari seperti apa yang dilihat atau menurut istilah mar’i.
Ringkasnya, sistem ini berpendapat bahwa jika setelah
terjadi ijtima’, hilal sudah wujud di atas ufuk hakiki pada saat terbenam
matahari, maka malamnya sudah dianggap buln baru, sebaliknya jika pada saat terbenam
matahari hilal masih berada dibawah ufuk hakiki maka malam itu belum dianggap
sebagi bulan baru.
d. Aliran yang
berpedoman kepada posisi hilal di atas ufuk hissi
Aliran ini berpendapat, jika pada saat matahari
terbenam setelah ijtima’, hilal sudah wujud di atas ufuk hissi, maka malam itu
sudah termasuk tanggal satu bulan baru. Dimaksud dengan ufuk hissi adalah
bidang datar yang melalui mata si peninjau dan sejajar dengan ufuk hakiki.
Aliran yang berpegang pada ufuk hissi menentukan ketinggian hilal diukur dari
atas permukaan bumi sedangkan yang berpegang kepada ufuk hakiki mengukur ketinggian
itu dari titik pusat bumi.
Sistem yang berpedoman pada ufuk hissi ini nampaknya
kurang populer sehingga banyak para ahli yang mengabaikan perhitungan ini.
Namun jika kita lihat keputusan seminar hisab yang diadakan di Yogyakarta tahun
1970, sistem ini termasuk salah satu sistem yang diakui eksistensinya,
sekalipun lebih jauh tidak disebutkan siapa-siapa saja yang berpegang kepada
sistem ufuk hissi ini.
e. Aliran yang berpedoman
kepada posisi hilal di atas ufuk mar’i
Sistem ini pada dasarnya sama seperti sistem hisab
yang berpedoman kepada ufuk hakiki dan hissi, yaitu memperhitungkan posisi
hilal pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’. Hanya saja sistem
ini tidak cukup sampai di sana. Setelah diperoleh nilai ketinggian hilal dari
ufuk hakiki kemudian ditambahkan koreksi-koreksi terhadap nilai ketinggian itu.
Koreksi-koreksi tersebut adalah kerendahan ufuk, refraksi, semi diameter
(jari-jari) dan parallaks (beda lihat).
f.
Aliran yang berpedoman kepada posisi hilal yang
mungkin dapat di rukyah (imkanur rukyah).
Untuk menetapkan masuknya awal bulan baru, aliran ini
mengemukakan, bahwa pada saat matahari terbenam setelah terjadi ijtima’, hilal
harus mempunyai posisi sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk dapat
dilihat. Para ahli yang termasuk golongan ini tidak sependapat tentang berapa
ukuran ketinggian hilal yang mungkin dapat dilakukan rukyat bil fi’li. Ada yang
mengatakan 80, 70, 60, 50, dan lain sebagainya.
Disamping ukuran ketinggian sebagai syarat untuk dapat
terlihatnya hilal, adapula yang menentukan unsur lainnya. Dalam konferensi
internasional tentang penentuan awal bulan Qamariyah yang diadakan di Turki
tahun 1978 dinyatakan bahwa untuk dapat terlihatnya hilal ada dua syarat yang
harus dipenuhi, yaitu ketinggian hilal di atas tidak kurang dari 50 dan sudut
pandang (angular distance) antara hilal dan matahari tidak kurang dari 80.
C.
RUKYAT
1.
Pengertian ru’yat
|
Gambar.
Rukhyatul Hilllal
|
Rukyat dapat
dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop.
Rukyat dilakukan setelah Matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah Matahari
terbenam (maghrib),
karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan cahaya Matahari,
serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat, maka pada petang (maghrib)
waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru Hijriyah. Apabila hilal
tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maghrib hari berikutnya.
Kriteria
Danjon (1932, 1936) menyebutkan bahwa hilal dapat terlihat tanpa alat bantu
jika minimal jarak sudut (arc of light) antara Bulan-Matahari sebesar 7
derajat.Perlu diketahui bahwa dalam kalender Hijriyah, sebuah hari diawali sejak terbenamnya matahari
waktu setempat, bukan saat tengah malam.Sementara penentuan awal bulan (kalender) tergantung pada penampakan (visibilitas) bulan.Karena itu, satu bulan kalender Hijriyah
dapat berumur 29 atau 30 hari.
2.
Kriteria Penentuan
Awal Bulan
Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah
dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit)
tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan berjalan (kalender) digenapkan
(istikmal) menjadi 30 hari. Kriteria ini digunakan antara lain oleh organisasi
NU. Sayangnya, ketentuan usia hilal, tinggi Bulan, dan sudut elongasi minimum
agar bulan dapat dilihat dengan mata ini masih ada beda pendapat. Dikutip dari
kstars-untuk-hisab-rukyat-plus-teori.pdf (online) Salah satu pendapat datang
dari anggota Badan Hisab dan Rukyat Indonesia, T. Djamaluddin: Pertama, umur
hilal minimum 8 jam sejak ijtimak. Kedua, tinggi bulan minimum tergantung beda
azimut Bulan-Matahari. Bila bulan berada lebih dari 6 derajat, tinggi
minimumnya 2,3 derajat. Tetapi bila Bulan tepat berada di atas Matahari, tinggi
minimumnya 8,3 derajat. Tanggal
1 menurut kriteria Rukyatul Hilal
Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima' qablal ghurub), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset). Jika dua prinsip itu dipenuhi, maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari terbenam. Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh organisasi Muhammadiyah.
Imkanur Rukyat adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah
yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah
Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan
Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah, dengan prinsip: awal bulan (kalender)
Hijriyah terjadi jika pada saat matahari terbenam, ketinggian (altitude)
Bulan di atas cakrawala minimum 2°, dan sudut elongasi (jarak lengkung)
Bulan-Matahari minimum 3°, atau pada saat Bulan terbenam, usia Bulan minimum 8
jam
dihitung sejak ijtimak.
Prinsip ini diikuti antara lain oleh organisasi Persis Persatuan Islam). Di
samping metode Imkanur Rukyat di atas, juga terdapat kriteria lainnya yang
serupa, dengan besaran sudut/angka minimum yang berbeda.
Rukyat Global adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang menganut prinsip: jika satu penduduk negeri melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa (dalam arti luas telah memasuki bulan Hijriyah yang baru) meski yang lain mungkin belum melihatnya.
3.
Faktor Yang Mempengaruhi Terlihatnya Hilal
Dalam praktek
ru’yah Hilal, berhasil atau tidaknya suatu Hilal dapat terlihat, tergantung
dari beberapa faktor, yaitu :
Ø
Tingkat pengamatan
(baik atau buruk) orang yang melihat Hilal
Ini adalah faktor dari sisi
manusia. Pengetahuan dan pemahaman tentang Hilal yang bagus, tingkat pengamatan
yang baik serta pekanya mata orang yang melihat Hilal bahkan faktor psikologis
pengamat akan menjadi faktor keberhasilan Hilal dapat terlihat. Alat bantu yang
digunakan dalam melihat Hilal juga termasuk dalam faktor ini.
Ø
Ukuran dan cahaya
Hilal
Ini adalah faktor dari sisi
Hilal. Semakin besar maka akan semakin mungkin Hilal dapat terlihat. Faktor ini
juga berkaitan erat dengan faktor berikutnya.
Ø
Cuaca
Ini adalah faktor dari sisi
alam.Cuaca, transparansi udara mempengaruhi terlihat atau tidaknya Hilal. Cuaca
yang tidak mendung atau hujan, tingkat penyerapan cahaya Hilal oleh atmosfir,
tingkat penyebaran cahaya di dalam atmosfir, transparansi udara yang bersih
akan menjadi beberapa faktor keberhasilan Hilal dapat terlihat.
Ø
Lokasi / Geografis
Suatu lokasi pengamatan yang
sedang turun hujan, pada lokasi pengamatan
D. ISTIKMAL
Istikmal
secara bahasa adalah menyempurnakan. Yaitu, menyempurnakan Sya’ban Menjadi 30 Hari, Masuknya bulan Ramadhan dapat pula ditetapkan
melalui penyempurnaan bulan Sya’ban menjadi 30 hari, sebagaimana keluarnya bisa
juga ditetapkan dengan menyempurnakan bulan Ramadhan menjadi 30 hari. Hal ini
dilakukan pada saat tidak bisa dilakukan ru’yah al-Hilal, baik saat masuk
maupun keluarnya bulan Ramadhan. Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits Abu
Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”
Berpuasalah kalian karena melihat (hilal bulan Ramadhan) dan berbukalah karena
melihatnya pula. Dan jika awan menaungi kalian, maka sempurnakanlah bilangan
bulan Sya’ban menjadi 30 hari…”
Hal ini dikuatkan lagi dengan hadist:
(1) Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Umar, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebut Ramadhan,
lalu beliau bersabda: ” Janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat
hilal (bulan Ramadhan) dan jangan pula kalian berbuka (tidak berpuasa) sehingga
kalian melihatnya. Jika awan menyelimuti kalian maka perkirakanlah untuknya…” (HR.
al-Bukhari dan Muslim.Shahih al-Bukhari, III/24, dan Shahih Muslim,
III/122).
(2) Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, ia
berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Berpuasalah
kalian karena melihatnya dan berbuka (tidak berpuasa) karena melihatnya pula.
Dan jika awan (mendung) menutupi kalian, maka sempurnakanlah hitungan bulan
Sya’ban menjadi tiga puluh hari.”.(HR. al-Bukhari, III/24; dan Muslim,
III/24).
D.
ARAH KIBLAT
1. Pengertian
Arah Kiblat
Kiblat
berasal dari bahasa Arab ( ﺔﻠﺒﻗ ) yang
bermakna adalah arah yang merujuk ke suatu tempat dimana
berada bangunan Ka’bah
yang terletak di
tengah-tengah Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi. Ka’bah juga sering
disebut dengan Baitullah (Rumah Allah). Menghadap arah Kiblat merupakan suatu
permasalahan yang sangat penting dalam syariat Islam. Menurut hukum syariat,
menghadap ke arah kiblat diartikan sebagai seluruh tubuh atau badan seseorang
menghadap ke arah Ka'bah yang terletak di Makkah yang merupakan pusat tumpuan
umat Islam.
Bagi kesempurnaan ibadah-ibadah tertentu.
Pelaksanaan shalat bagi umat Islam adalah suatu hal yang wajib dan sangat
fundamental, maka sebagai salah satu konsekuensinya adalah penentuan arah
kiblat yang benar harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Syeikh Daut Patani menyatakan bahwa mengetahui arah kiblat sama
wajibnya dengan mengetahui fardlu wudlu.
Dalam Pedoman Hidup Islami dinyatakan: "Setiapumat Islamwajib untuk
menguasai dan memiliki keunggulan dalam kemampuan ilmu pengetahuan dan
teknologi sebagai sarana kehidupan yang penting untuk mencapai kebahagiaan
hidup di dunia dan akhirat".
2. Ijtihad Arah
Kiblat
Para Ulama
sepakat bahwa bagi orang-orang yang
melihat Ka’bah wajib baginya menghadap dengan penuh yakin (Ainul Ka’bah).
Sementara itu, bagi mereka yang tidak bisa melihat Ka’bah maka para ulama
berbeda pendapat. Selain Syafi’iyah berpendapat cukup dengan menghadap arah
ka’bah (Jihatul Ka’bah) sehingga arah kiblat di sini bersifat Dzan. Sementara
Syafi’iyah berpendapat bahwa tetap diwajibkan bagi yang jauh dari Mekkah untuk
mengenai Ainul Ka’bah yakni wajib menghadap Ka’bah sebagaimana yang diwajibkan
pada orang-orang yang melihat langsung Ka’bah. Bagi yang tidak tahu arah dan ia
tidak dapat mengira kemana arah Kiblat maka baginya wajib taqlid
pada petunjuk yang ada.
Ijtihad
arah kiblat digunakan dalam rangka menentukan arah kiblat sebisa
mungkin mendekati Ainul
Ka’bah bagi seseorang yang berada
di luar tanah haram (Makkah) atau bahkan
di luar negara
Arab Saudi.seperti Indonesia.
Di kawasan ini ijtihad sederhana arah kiblat dapat
ditentukan diantaranya dengan menggunakan Kompas, Rasi Bintang,
Bayangan Matahari, Arah Matahari Terbenam. Kaidah lebih modern adalah
menggunakan perhitungan falak atau astronomi dengan
dibantu pengukurannya menggunakan
peralatan modern seperti
Kompas, GPS, Theodolit
dan sebagainya.
3.
Pengukuran Arah Kiblat
a. Dengan
Kompas
1.
Kompas
Magnetik
Kompas ini
adalah alat yang digunakan untuk keperluan mencari arah mata angin. Kompas
magnetik bekerja berdasarkan kemuatan magnet
bumi yang membuat
jarum magnet yang terdapat pada jenis kompas megnetik ini
selalu menunjuk ke arah Utara dan Selatan. Kompas magnetik yang memiliki
ketelitian cukup tinggi namun harganya cukup mahal diantaranya jenis
Suunto, Forestry Compass
DQL-1, Brunton, Marine, Silva,
Leica, Furuno dan
Magellan. Beberapa jenis kompas yang dijual di pasaran terutama
jenis military compass (kompas bidik) terbukti banyak menunjukkan penyimpangan
antara 1° hingga 5° dari angka yang
ditunjukkan oleh jarumnya.
Karena
kelemahan utama kompas
jenis magnetik adalah
ia begitu mudah
terpengaruh oleh benda-benda yang
bermuatan logam sehingga sangat tidak dianjurkan menggunakan kompas jenis ini
masuk ke dalam bangunan yang mengandung banyak besi-besi beton. Kompas magnetik
dalam praktisnya juga
sangat dipengaruhi oleh
atraksi medan magnetik
lokal dan deklinasi/variasi
magnetik secara global. Nilai variasi magnit itu berbeda-beda tergantung pada
posisi tempatnya. Harga variasi magnit untuk wilayah Indonesia dari Sabang
sampai Merauke nilai variasi magnetik antara
-1° s/d +5° dan selalu berubah setiap tahunnya walaupun kecil.
Yogyakarta tahun 2010 memiliki deklinasi
magnetik sebesar +1,2° berarti titik Utara Sejati berada di
sebelah Barat dari
Utara Magnit (kompas)
sebesar 1,2°. Sehingga
pada setiap pengukuran angka
azimuth harus dikoreksi angka deklinasi tersebut
Peta Deklinasi/Variasi Magnetik Indonesia
(epoch 2008)
Sebelum digunakan
sebaiknya kompas dikalibrasi
terlebih dahulu. Kalibrasi
adalah membandingkan hasil pengukuran suatu alat dengan alat lain yang
dijadikan standard. Kalibrasi kompas tentunya harus menggunakan peralatan yang
lebih teliti misalnya menggunakan GPS atau
Theodolit. Kalibrasi juga
dapat dilakukan dengan
menggunakan posisi matahari
terbit maupun terbenam pada saat-saat tertentu misalnya saat matahari
terbit dan terbenam tepat di arah Timur dan Barat. Kalibrasi juga dapat
dilakukan dengan mengukur masjid yang sudah sesuai arah kiblatnya. Oleh
karenanya, pengukuran Arah Kiblat dengan kompas memerlukan extra hati-hati dan
penuh kecermatan, mengingat jarum
kompas itu kecil
dan peka terhadap
medan magnit. Untuk mendapatkan informasi
data variasi magnit
dapat menghubungi BMKG
atau Kementerian Agama setempat.
Untuk menentukan arah kiblat menggunakan kompas biasa dapat dilakukan sebagai
berikut :
Ø Sediakan karton
dengan ukuran 50x50 cm dan berilah garis bersilang sepanjang
sumbunya yaitu sumbu
Utara-Selatan dan dan sumbu Barat-Timur. Kemudian pasang kompas di atas
karton.
Ø
Letakkan
karton dengan kompas tersebut di
atas permukaan yang
datar dan pastikan terbebas
dari pengaruh logam maupun
medan magnet lain
di sekitarnya.
Ø Tunggu sampai
jarum kompas tidak bergerak dan
putar karton sehingga jarum kompas
menunjuk tepat arah Utara Magnetik.
Ø Dengan ini
kita telah mendapatkan arah Utara-Selatan
dan Barat-Timur Magnetik.
Ø Selanjutnya untuk
menentukan arah kiblatnya maka
sudut arah kiblat harus dikoreksi
terlebih dahulu terhadap variasi magnetik dengan rumus:
(Sudut Kiblat Magnetik = Sudut Azimut Kiblat -
Deklinasi Magnetik) sehingga Sudut Kiblat Magnetik = 24,7°- 1,2° = 23,5° dari B
ke U. Tangen arah kiblat magnetik tg 23,5° = 43,5 cm. Artinya setiap 100 cm ke
arah Barat maka ke Utara sebesar 43,5
cm untuk mendapatkan
arah kiblatnya. Pengukuran
sudut ini juga
bisa dilakukan dengan bantuan Busur Derajat Besar yang banyak dijual di
Toko Alat Tulis.
2.
Kompas
Kiblat Arab
Kompas
kiblat yang banyak dijual di pasaran menggunakan prinsip ”index kota” yaitu
sudut simpangan arah kiblat dari suatu kota terhadap arah Utara magnetik.
Menggunakan kompas model ini sebenarnya bukan pilihan yang baik sebab ada
beberapa kelemahan. Diantaranya adalah kompas
yang digunakan adalah kompas
biasa sehingga hasilnya
kurang presisi, skala kompas menggunakan skala gon (0-400)
sehingga kurang familier, index kota
banyak yang salah
(termasuk Yogyakarta),
perhitungannya masih
menggunakan segitiga datar
dan tidak memperhitungkan deklinasi
magnetik dan kompas belum
terkalibrasi dengan baik. Namun
demikian untuk kepentingan yang sifatnya
darurat, individual atau sementara kompas
jenis ini bisa digunakan.
Untuk
menggunakannya letakkan kompas di
tempat yang datar
dan jauhi bahan-bahan
yang mengandung besi/magnet. Lihat angka
index kota pada
buku yang disertakan. Putarlah
kompas sehingga jarum merah
(Utara) menunjuk pada
angka index kota
tersebut. Bisanya kompas
kiblat menggunakan jenis kompas berisi cairan peredam gerak jarum. Arah
kiblat ditunjukkan oleh bagian kompas yang lancip bergambar menara. Untuk menghitung “index kota” atau sudut arah
kiblat yang benar dapat dilakukan dengan cara konversi dan
koreksi deklinasi magnetik.
Misalnya untuk Yogyakarta azimuth
kiblat adalah 294,7°. Karena
pengukuran menggunakan kompas magnetik maka angka ini harus dikoreksi dengan deklinasi
magnetik Yogyakarta (1,2°E)
sehingga azimuth kiblat
terhadap titik Utara Magnetik adalah 293,5° (294,7°-1,2°). Didapatkan
sudut arah kiblat
dari Utara Magnetik sebesar 65,5° (360°-293,5°). Untuk
menjadi “index kota” angka sudut dalam satuan derajat ini ini selanjutnya harus
dikonversi menjadi sudut dalam satuan “Gon”. Sehingga akan didapatkan
angka index untuk
kota Yogyakarta adalah 73
didapatkan dri 65,5
x 400/360=72,78 à dibulatkan
menjadi 73 Gon.
3. Kompas
Kiblat Rhi
Kompas
Kiblat RHI merupakan salah satu aplikasi
kompas untuk pengukuran arah kiblat. Kompas ini dilengkapi petunjuk praktis cara
pemakaian serta daftar Azimut arah kiblat untuk kota provinsi di Indonesia yang
sudah dikoreksi dengan deklinasi magnetik setempat. Kompas ini juga dilengkapi
dengan 2 jenis skala yaitu derajat (°) 0°-360° dan skala Gon (0-400). Sebagai alat ukur kiblat, kompas ini hanya
cocok digunakan untuk
pengukuran tempat shalat di
kamar rumah-rumah. Namun demikian
sekedar untuk mengira apakah masjid
kita sudah tepat
arah kiblatnya alat ini bisa menjadi pertolongan pertama.
Cara
penggunaan kompas:
Ø Tentukan
Angka Azimut Arah Kiblat Magnetik
kota di tempat
melakukan pengukuran. (lihat daftar
melingkar). Misalnya Yogyakarta = 293,5°
Ø Bentang
kompas di tempat datar dan pastikan tidak terpengaruh oleh medan magnetik
maupun logam di sekitarnya.
Ø Amati jarum
kompa sampai betul-betul diam dan putar alat sehingga
jarum kompas tepat menunjuk di arah Utara (0°/360°).
Ø Tahan posisi
alat agar tidak bergerak dan tarik benang merah ke Angka Azimut Arah Kiblat
kota sesuai yang ada dalam daftar. (293,5°)
Ø Arah benang
merah ini adalah Arah Kiblat.
Ø Jika arah
kibla t sudah diketahui maka untuk membuat garis shaff dapat dilakukan dengan
menarik benang merah tegak lurus arah kiblat tersebut baik yang ke kanan maupun
ke kiri. Untuk shaff yang ke kanan 23,5° dan yang ke kiri 213,5°.
b. Pengukuran
Arah Kiblat Dengan Kaidah Matahari
1.
Istiwa
Utama Matahari Di Atas Ka’bah
Istiwa Utama
atau Istiwa A’dhom adalah melintasnya
Matahari melewati titik tepat di atas
kepala (Zenit) suatu tempat. Istiwa sendiri adalah saat Matahari melewati
meridian suatu tempat yang juga menjadi pertanda masuknya waktu Zuhur. Akibat
sumbu Bumi miring 66,5˚ terhadap bidang orbitnya menyebabkan selama setahun
Matahari terlihat bergeser posisinya. Pergeseran ini antara 23,5˚ LU pada bulan
Juni sampai 23,5˚ LS pada bulan Desember. Saat sudut deklinasi Matahari sama
dengan nilai Lintang suatu tempat maka di tempat tersebut terjadi Istiwa
Utama.
Selama
setahun Matahari berada tepat di atas Ka’bah akan terjadi selama 2 kali yaitu
pada tanggal 28 Mei pukul 12.18 Waktu Makkah (16.18 WIB) dan 16 Juli sekitar
pukul 12.27 Waktu Makkah (16.27 WIB). Saat itulah arah Matahari yang kita lihat
adalah arah kiblat yang tepat. Untuk
mempermudah, pengukuran dapat dilakukan dengan menggunakan sebatang tongkat
yang didirikan secara tegak di tempat yang mendapat sinar Matahari. Saat
peristiwa Istiwa Utama terjadi maka bayangan tongkat adalah arah kiblat yang
benar.
2.
Kompas Matahari Terbenam
Selama setahun
Matahari berubah posisi dari
Utara ke Selatan
dan sebaliknya. Posisi tersebut
sering disebut sebagai Gerak
Musim Matahari. Equinox
adalah saat dimana posisi matahari berada tepat di Ekuator
atau garis katulistiwa.
Ini adalah bagian dari
siklus tahunan pergerakan harian
semu matahari saat terbit,
melintas dan terbenam
yang disebabkan oleh kemiringan sumbu bumi terhadap bidang
orbitnya yaitu sebesar 66.56°. Selama
setahun terjadi dua
kali Equinox yaitu Maret Equinox yang terjadi setiap tanggal
21 Maret dan
September Ekuinox yang terjadi setiap tanggal 23 September. Saat terjadi peristiwa Equinox posisi
Matahari terbenam akan tepat berada di titik Barat sehingga dengan menambah
sudut kemiringan arah kiblat terhadap titik Barat maka arah kiblat yang
sesungguhnya kan kita dapatkan.
Selain
Equinox matahari juga akan berada di titik paling Utara pada 21 Juni dan berada
di titik paling Selatan pada 22 Desember yang dikenal dengan istilah Solstice.
Pada saat Juni Solstice, Matahari akan terbenam tepat di sudut serong terhadap
arah Barat sebesar 23,5° ke arah Utara sehingga
untuk menuju ke
arah kiblat yang
tepat dapat tinggal
menambahkan kekurangan
penyerongan angka arah kiblat yang didapatkan dari hasil perhitungan
menggunakan rumus segitiga bola. Sedangakan pada saat Desember Solstice
matahari terbenam di Selatan titik Barat sebesar 23,5°.
3. Kiblat
Harian Bayang Matahari
Kecuali
menggunakan posisi Matahari saat Istiwa A’dhom tersebut posisi harian Matahari dapat juga digunakan
sebagai pemandu arah kiblat, baik saat posisi bayangan Matahari menjauhi arah
kiblat (sore) maupun saat bayangan Matahari menuju arah kiblat (pagi). Begitu juga terhadap benda-benda langit yang
lain. Mereka juga dapat digunakan sebagai pemandu arah kiblat asalkan kita
mengetahui kedudukan benda-benda langit tersebut. Diantaranya adalah posisi
Bulan, posisi Planet dan posisi Bintang tertentu juga dapat digunakan sebagai
pemandu arah.
Prinsip dari
panduan ini adalah : Azimuth Arah
Kiblat = Azimuth Matahari atau Bayangannya pada hari
itu. Untuk mengetahui azimuth posisi benda-benda langit tersebut dapat
digunakan software-software astronomi mengenai posisi benda langit seperti
Starrynight, Stellarium, Sky View Cave, Cybersky. Tabel Azimuth Bayang-bayang Kiblat untuk wil
Posisi
Matahari dan bayangannya waktu pagi dan sore saat bersesuaian dengan arah
kiblat.
BAB III
AYAT AL-QU’AN YANG BERHUBUNGAN
DENGAN MATERI
Di dalam al-Qur’an surah
Yunus (10):5, Allah memberikan petunjuk tentang peran matahari dan bulan sebagai sarana untuk mengetahui perhitungan
waktu. Bunyi ayat tersebut sebagai
berikut:
Penjelasan :
Setelah Allah
menerangkan tanda kebenaran langit dan bumi yang telah diciptakan-Nya pada ayat
sebelumnya, maka Allah Ta’ala menerangkan juga tentang kejadian langit dan
bulan yang telah diciptakan-Nya. Segala tanda kejadian matahari,bulan adalah
untuk memberi sinaran cahaya yang banyak faidahnya terutama waktu pagi hari dan
diberikan bulan cahaya untuk menerangkan waktu malam segala kejadian itu
datangnya dari Allah Ta’ala.
Allah ta’ala telah menempatkan tempat-tempat perjalanan
bulan itu mengikut waktunya melalui peredarannya.Tiap-tiap satu malam mengedari
satu tempat perhentian sedikitpun tidak berselisih .Tempat-tempat perhentian
bulan itu banyaknya 28 manzilah yang dikenal oleh orang-orang arab akan namanya masing-masing. Bulan itu dapat dilihat
dengan mata kasar selama 28 malam
kecuali satu atau dua malam saja dlam satu bulan ,bulan itu tidak
kelihatan karena terlindung.
Dengan menetapkan perjalana matahari terbukti dalam mengetahui bilangan tahun
masehi atau juga tahun hijriyah,bila masanya bermula dan berakhir pula,kita dapat
menghitung perkiraan hari,bulan,minggu,dan masa siang dan malam.Faedah- faedah
dari perubahan matahari dan bulan boleh
menjadi pedoman untuk menetapkan waktu-waktu didalam perkara ibadah ,waktu
siang bermula puasa,dan mula menunaikan haji.segala kejadian yang Allah
menjadikan semuanya tidaklah menjadi
sia-sia malahan menunjukan tentang kekuasaan-Nya dan menjadi bukti keesaan-Nya.
Dan Allah telah smenerangkan
tentang keesaan-Nya kepada kmu yang mengetahui dan mengetahui sesuatu dalil
sehingga mereka dapt membedakan mana yang benar dan mana yang salah dan yang
berfaedah dengan yang mendatangkan madharat.
Selain itu ada keterangan dalam Qs.Al-baqarah(2) ayat 189,
yang berbunyi:
مِنْالْبُيُوتَأْتُوابِأَنْلْبِرُّوَلَيْسَوَالْحَجِّلِلنَّاسِمَوَاقِيتُلِهِيَقُلْالْأَهِلَّةِعَنِيَسْأَلُونَكَتُفْلِحُونَلَعَلَّكُمْاللَّهَوَاتَّقُواأَبْوَابِهَامِنْالْبُيُوتَوَأْتُوا اتَّقَىمَنِالْبِرَّوَلَكِنَّظُهُورِهَا
Artinya: Mereka
bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah:` Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebaktian
memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaktian itu ialah
kebaktian orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari
pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.(QS. 2:189)
Penjelasan
:
Pada ayat ini Allah mengajar Nabi Muhammad
saw. menjawab pertanyaan sahabatnya tentang guna dan hikmah "bulan"
bagi umat manusia, yaitu untuk keperluan perhitungan waktu dalam melaksanakan
urusan ibadah mereka seperti salat, puasa, haji dan sebagainya dan juga urusan
dunia yang diperlukan. Allah menerangkan perhitungan waktu itu dengan
perhitungan bulan Qamariah, karena lebih mudah dari perhitungan menurut
peredaran matahari (Syamsiah) dan lebih sesuai dengan tingkat pengetahuan
bangsa Arab pada zaman itu.
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa banyak
dari golongan kaum Ansar apabila mereka telah mengerjakan ihram haji, maka
mereka tidak mau lagi memasuki rumah dari pintunya yang biasa tetapi
memasukinya dari belakang. Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa kebaktian
atau kebajikan itu bukanlah menuruti perasaan dan tradisi yang berbau khurafat,
seperti memasuki rumah dari belakang tetapi kebaktian atau kebajikan itu ialah
bertakwa kepada Allah swt. Dan ditetapkan kepada mereka agar memasuki rumah
dari pintunya.
Dalil-dalil yang berkaitan dengan arah kiblat :
Dalil Al
Qur'an
"Sungguh
Kami (sering) melihat
mukamu menengadah ke
langit, maka sungguh
Kami akan memalingkan kamu
ke kiblat yang
kamu sukai. Palingkanlah
mukamu ke arah Masjidil
Haram. Dan dimana
saja kamu berada,
palingkanlah mukamu ke
arahnya. Dan sesungguhnya
orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil)
memang mengetahui, bahwa
berpaling ke Masjidil
Haram itu adalah
benar dariTuhannya; dan
Allah sekali-kali tidak
lengah dari apa
yang mereka kerjakan" (Q.S.
Al-Baqarah, 2 : 144).
b. Hadis
"Nabi
Muhammad saw. bersabda
:"Bila kamu hendak
mengerjakan salat, hendaklah menyempurnakan wudlu
kemudian menghadap kiblat
lalu takbir "
(H.R. Bukhari dan Muslim).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

2 komentar:
kak....dari buku mana anda dapat istilah bulan sabit awal dan bulan sabit akhir
Posting Komentar