PENENTUAN HILAL DAN RUKHYATUL HILAL


PENENTUAN HILAL DAN RUKHYATUL HILAL

A.          HILAL
Dalam hisab dan Rukyatul hilal ada beberapa istilah yangan kita bahas sebelum kita membahas tentang metode hisab dan rukhyatul hisab.
Hilal merupakan bulan yang mengitari bumi, memiliki fase tersendiri dalam setiap putarannya selama 29-30 hari/bulan. Setiap fase memiliki tandatersendiri, seperti bulan baru, bulan sabit, setengah purnama, 3/4 purnama, purnama, bulan tua, bulan mati.Hilal termasuk suatu fase awal bulan yang dapat dilihat oleh seseorang.Hilal adalah bulan sabit pertama yang dapat teramati/terlihat di ufuk barat beberapa saat setelah maghrib/matahari terbenam”.Waktu Hilal muncul dan terlihat berkisar antara 10-40 menit setelah itu bulan terbenam.
Secara umum Hilal memang identik dengan bulan sabit yang merupakan satu dari beberapa fase bulan, tapi jika dibahas lebih detil maka ada beberapa perbedaan, hal ini dikarenakan bulan sabit terdiri dari dua jenis yaitu:
1.           Bulan sabit awal (waxing crescent).
Hilal dalam konteks penentuan awal bulan Qamariyah adalah seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, yaitu bulan sabit pertama yang dapat terlihat di ufuk Barat beberapa saat setelah matahari terbenam. Dari sisi bentuk, fase ini berbentuk seperti huruf “C yang terbalik” atau “C yang diputar 180 derajat”, sedangkan bulan sabit yang pertama yang dapat dilihat juga berbentuk sama seperti itu (walau terkadang terlihat seperti bentuk huruf “C yang diputar 270 derajat” yang juga mirip-mirip dengan huruf “U”) yang cahayanya masih sangat tipis dan belum terlalu terang (hanya sekitar 1% dari cahaya saat fase purnama), warnanya kuning keputihan atau kuning keemasan. Pada bulan sabit selanjutnya (yaitu mulai hari ke-2 suatu bulan Qamariyah) cahayanya akan semakin terang dan irtifa`-nya juga akan semakin naik/tinggi.
2.           Bulan sabit akhir (waning crescent)
Fase ini disebut juga bulan tua (Hilal akhir) atau Hilal ats-Tsani.Bulan sabit ini bukanlah Hilal yang dimaksud sebagai Hilal dalam penentuan awal bulan Qamariyah. Dari sisi bentuk, bulan tua berbentuk seperti huruf “C” (walau terkadang terlihat seperti bentuk huruf “C yang diputar 270 derajat” yang juga mirip-mirip dengan huruf “U”).
Berbeda dengan bulan sabit awal, bulan tua ini sudah dapat teramati atau terlihat di ufuk Timur sebelum shubuh matahari terbit pada beberapa hari terakhir pada suatu bulan Qamariyah.Ketika matahari terbit dan langit semakin cerah, bulan tua perlahan-lahan memudar hingga akhirnya cahaya matahari menghilangkan bulan tua dari pandangan manusia, meskipun sebenarnya Hilal tua masih ada di langit. Bulan tua terbenam beberapa jam atau beberapa saat sebelum matahari terbenam di ufuk Barat, dan hal ini dapat mengecoh orang yang kurang paham tentang Hilal sehingga dapat mengira bulan tua yang terlihat di akhir bulan sebagai bulan sabit awal (Hilal).

Ijtima’ yaitu bertemunya posisi bulan dan matahari dalam satu garis edar (bertemu pada bujur eliptik yang sama atau segarisnya bulan dan matahari). Pengertian dari sisi fase bulan: ijtima` adalah bulan baru, dan dapat disebut juga bulan mati. Disebut demikian karena pada saat ijtima` bulan lalu telah berakhir dan bulan baru telah muncul.
Pada waktu tertentu, pada saat terjadi ijtima` ditandai dengan gerhana matahari, sehingga dapat dikatakan gerhana matahari (yang pada saat itu posisi bulan dan matahari bertemu pada bujur eliptik dan lintang eliptik yang sama) adalah ijtima` yang dapat terlihat/teramati. Periode dari satu ijtima` ke ijtima` berikutnya disebut sebagai periode ‘sinodis bulan’ yang lamanya 29 hari 12 jam, 44 menit 2.8 detik atau 29.53059 hari. Sehingga sangat beralasan secara ilmiah jika dalam satu bulan Qamariyah lama harinya adalah 29 atau 30 hari.

FalakIlmu falak adalah ilmu yang mempelajari tempat peredaran benda-benda langit, termasuk menghitung posisi benda-benda langit tersebut, terutama posisi bulan dan matahari dilihat dari sisi pengamat di bumi. Ilmu falak yang lebih mengkhususkan untuk mengkaji, menghitung, menentukan Hilal, gerhana, waktu shalat, dan arah kiblat disebut sebagai ilmu falak syar`i atau ilmu falak ibadah.Terdapat perbedaaan antara ilmu falak dengan dengan astronomi, yaitu astronomi lebih umum dalam mempelajari tentang benda-benda langit, tidak hanya lintasannya saja.
Irtifa` adalah sisi penentuan Hilal yang dimaksud irtifa` adalah ketinggian Hilal (sudut elevasi Hilal) di atas ufuk.

B.          HISAB
1.          Pengertian Hisab Awal Bulan
Menurut Syaugi Mubarok (1:2007) Hisab atau ilmu hisab merupakan padanan dari ilmu falak yakni salah satu cabang ilmu astronomi terapan yang membahas penentuan waktu ibadah dengan cara menghitung posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Penentuan awal bulan dan awal tahun dengan menggunakan ilmu hisab adalah sebagai alternatif dalam penentuan awal Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah. Ada dua metode hisab yang lazim digunakan, yaitu hisab urfi dan hisab hakiki. Hisab urfi berasal dari penyimpulan rata-rata lamanya umur bulan Qamariyah. Metode ini menentukan umur bulan-bulan ganjil 30 hari dan umur-umur bulan genap 29 hari. Sedangkan hisab hakiki, menentukan bahwa bulan baru dipastikan masuk bila pada waktu maghrib hilãl diperhitungkan berada di atas ufuk.
Kata-kata hisab yang digunakan dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab al-hisab. Dalam bahasa Arab, kata al-hisab ini mengandung beberapa pengertian, diantaranya: kumpulan orang banyak (al-jam’u al-kasir), yang mencukupi (al-kafi) dan hitungan atau perhitungan (al-‘addu atau al-muhasabat). Pengertian yang terakhir ini yang banyak diserap dan digunakan dalam bahasa Indonesia apabila menyebutkan kata “hisab” (al-hisab).
Berdasarkan pada pengertian menurut bahasa tersebut maka kata al-hisab menurut istilah, yakni sebagai suatu disiplin ilmu (ilmu al-hisab) diartikan dengan “ilmu pengetahuan yang membahas tentang seluk beluk perhitungan”. Kata al-hisab dalam pengertian ini, dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah arithmatic.
Bila dikaitkan dengan hisab awal bulan berarti melakukan perhitungan untuk menentukan kapan terjadinya tanggal satu setiap bulan, baik dalam kalender Masehi, Hijriyah maupun Jawa Islam.

2.     Metode dan Aliran Hisab Awal Bulan
Seperti yang telah dijelaskan, bahwa ada beberapa metode hisab yang sering lazim digunakan. Metode dan aliran hisab awal bulan dapat dikelompokkan menjadi:
a.      Hisab urfi
Hisab ini dinamakan hisab urfi karena kegiatan perhitungannya dilandaskan kepada kaidah-kaidah yang bersifat tradisional atau kebiasaan yaitu dibuatnya anggaran-anggaran dalam menentukan perhitungan masuknya awal bulan itu. Anggaran yang dipakai didasarkan pada rata-rata bumi mengelilingi matahari untuk kalender Masehi, atau peredaran bulan mengelilingi bumi untuk kalender Hijriyah dan Jawa-Islam.
Hisab urfi mempunyai anggaran yang tetap dan beraturan yaitu untuk bulan Januari 31 hari, Pebruari 28 atau 29 hari, Maret 31 hari, April 30 hari begitu seterusnya (untuk kalender Masehi). Demikian juga Muharram 30 hari, Shafar 29 hari, Rabi’ul awwal 30 hari dan seterusnya secara bergantian, kecuali untuk tahun kabisat yang terjadi 11 kali setiap 30 tahun, bulan Dzulhijjah dihitung 30 hari (untuk kalender Hijriyah). Suro 30 hari, Sapar 29 hari, Mulud 30 hari dan begitu seterusnya secara bergantian, kecuali untuk tahun kabisat yang terjadi 3 kali setiap 8 tahun, bulan Besar dihitung 30 hari (untuk kalender Jawa-Islam).

b.     Hisab Hakiki
Hisab hakiki ini digunakan dalam penentuan awal bulan dalam kalender Hijriyah. Hisab ini dinamakan hisab hakiki karena penentuan tanggal satu setiap bulannnya didasarkan kepada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya. Menurut sistem ini umur tiap bulan tidaklah tetap dan juga tidak beraturan, melainkan kadang-kadang 2 bulan berturut-turut umurnya 29 hari atau 30 hari, atau kadang-kadang pula bergantian seperti menurut perhitungan hisab urfi.
Dalam praktek perhitungannya, sistem ini mempergunakan data sebenarnya dari gerakan bulan dan bumi serta mempergunakan kaidah-kaidah ilmu ukur segitiga bola.Sistem hisab hakiki dianggap lebih sesuai dengan yang dimaksud oleh syara’ sebab dalam prakteknya sistem ini memperhitungkan kapan hilal akan muncul atau wujud. Sehingga sistem hisab inilah yang dipergunakan orang dalam menentukan awal bulan yang ada kaitannya dengan pelaksanaan ibadah.Hisab hakiki dapat dikelompokkan menjadi:
·         Hisab hakiki taqribi
Kelompok ini mempergunakan data bulan dan matahari berdasarkan data dan tabel Ulugh Beik dengan proses perhitungan yang sederhana. Hisab ini hanya dengan cara penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian tanpa mempergunakan ilmu ukur segitiga bola. Metode koreksinya tidak begitu halus. Demikian juga metode penentuan tinggi hilal sangat sederhana dengan cara membagi dua waktu antara waktu ijtima’ dengan waktu terbenam matahari. Secara fisik metode ini masih mempergunakan ilmu astronomi Ptolomeus yang masih menganut prinsip geosentris yang sudah ditumbangkan oleh Galileo Galilei dan digantikan dengan prinsip heliosentris oleh Copernicus. 
·         Hisab hakiki tahqiqy
Inti dari sistem ini adalah menghitung atau menentukan posisi matahari, bulan dan titik simpul orbit bulan dengan orbit matahari dalam sistem kooordinat ekliptika. Artinya sistem ini mempergunakan tabel-tabel yang sudah dikoreksi dan mempergunakan perhitungan yang relatif lebih rumit daripada kelompok hisab hakiki taqribi serta memakai ilmu ukur segitiga bola.
·         Metode hisab hakiki kontemporer
Metode ini menggunakan hasil penelitian terakhir dan menggunakan matematika yang telah dikembangkan. Metodenya sama dengan metode hisab hakiki tahqiqi hanya saja sistem koreksinya lebih teliti dan kompleks sesuai dengan kemajuan sains dan teknologi. Rumus-rumusnya lebih disederhanakan sehingga untuk menghitungnya dapat digunakan kalkulator atau komputer. 

Disamping terbagi menjadi beberapa metode di atas, hisab hakiki juga terbagi menjadi beberapa aliran dalam menentukan masuknya awal bulan yaitu: 
a.      Aliran yang berpedoman kepada ijtima’ qablal ghurub
Aliran ini menetapkan bahwa jika ijtima’ terjadi sebelum matahari terbenam, maka malam harinya sudah dianggap bulan baru, sedang jika ijtima’ terjadi setelah matahari terbenam maka malam itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai tanggal 30 bulan yang sedang berlangsung. Sistem ini sama sekali tidak mempersoalkan rukyat. Juga tidak memperhitungkan posisi hilal dari ufuk. Asal sebelum matahari terbenam sudah terjadi ijtima’, walaupun hilal masih di bawah ufuk, maka malam hari itu berarti sudah termasuk bulan baru.
Sistem ini lebih menitikberatkan kepada penggunaan astronomi murni. Dalam ilmu astronomi dikatakan bahwa bulan baru itu terjadi sejak matahari dan bulan dalam keadaan konjungsi (ijtima’). Sistem ini menghubungkan ijtima’ dengan saat terbenam matahari, sebab mempunyai anggapan bahwa hari menurut Islam adalah dimulai dari terbenam matahari sampai terbenam matahari berikutnya. Malam mendahului siang. Jadi logikanya menurut sistem ini, bahwa ijtima’ adalah pemisah diantara dua bulan Qamariyah, namun oleh karena hari menurut Islam dimulai sejak terbenam matahari, maka kalau ijtima’ terjadi sebelum terbenam matahari, malam itu sudah dianggap masuk bulan baru dan kalau ijtima’ terjadi setelah terbenam matahari maka malam itu masih merupakan bagian dari bulan yang sedang berlangsung.
b.    Aliran yang berpedoman kepada ijtima’ qablal fajri
Seperti apa yang disinyalir oleh beberapa ahli bahwa akhir-akhir ini timbul suatu pendapat baru yang menghendaki permulaan bulan Qamariyah ditentukan oleh kejadian ijtima’ sebelum terbit fajar. Alasannya karena saat terjadi ijtima’ tidak ada sangkut pautnya dengan kejadian matahari terbenam dan tidak ada dalil yang kuat bahwa batas hari adalah saat matahari terbenam.
Menurut sistem ini, jika ijtima’ terjadi sebelum terbit fajar, maka malam itu sudah masuk awal bulan baru, walaupun pada saat matahari terbenam pada malam itu belum terjadi ijtima’.
Jika kita perhatikan, pendapat ini semata-mata berpegang pada astronomi murni dan menentukan saat terbitnya fajar sebagai permulaan hari. Pendapat ini mengambil pengertian dari perintah dimulainya berpuasa secara harian. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 187: “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar”.
c.      Aliran yang berpedoman kepada posisi hilal di atas ufuk hakiki
Menurut aliran ini untuk masuknya tanggal satu bulan Qamariyah, posisi hilal harus sudah berada di atas ufuk hakiki. Dimaksud dengan ufuk hakiki, adalah bidang datar yang melalui titik pusat bumi dan tegak lurus pada garis vertikal dari si peninjau. Sistem ini tidak memperhitungkan pengaruh tinggi tempat si peninjau. Demikian pula jari-jari bulan, parallaks dan refraksi tidak turut diperhitungkan. Sistem ini memperhitungkan posisi bulan tidak untuk dilihat. Lain halnya dengan perhitungan matahari terbenam, aliran ini memperhitungkan unsur-unsur di atas, sebab mereka mempergunakan pengertian terbenam matahari seperti apa yang dilihat atau menurut istilah mar’i.
Ringkasnya, sistem ini berpendapat bahwa jika setelah terjadi ijtima’, hilal sudah wujud di atas ufuk hakiki pada saat terbenam matahari, maka malamnya sudah dianggap buln baru, sebaliknya jika pada saat terbenam matahari hilal masih berada dibawah ufuk hakiki maka malam itu belum dianggap sebagi bulan baru.
d.     Aliran yang berpedoman kepada posisi hilal di atas ufuk hissi
Aliran ini berpendapat, jika pada saat matahari terbenam setelah ijtima’, hilal sudah wujud di atas ufuk hissi, maka malam itu sudah termasuk tanggal satu bulan baru. Dimaksud dengan ufuk hissi adalah bidang datar yang melalui mata si peninjau dan sejajar dengan ufuk hakiki. Aliran yang berpegang pada ufuk hissi menentukan ketinggian hilal diukur dari atas permukaan bumi sedangkan yang berpegang kepada ufuk hakiki mengukur ketinggian itu dari titik pusat bumi.
Sistem yang berpedoman pada ufuk hissi ini nampaknya kurang populer sehingga banyak para ahli yang mengabaikan perhitungan ini. Namun jika kita lihat keputusan seminar hisab yang diadakan di Yogyakarta tahun 1970, sistem ini termasuk salah satu sistem yang diakui eksistensinya, sekalipun lebih jauh tidak disebutkan siapa-siapa saja yang berpegang kepada sistem ufuk hissi ini.
e.      Aliran yang berpedoman kepada posisi hilal di atas ufuk mar’i
Sistem ini pada dasarnya sama seperti sistem hisab yang berpedoman kepada ufuk hakiki dan hissi, yaitu memperhitungkan posisi hilal pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’. Hanya saja sistem ini tidak cukup sampai di sana. Setelah diperoleh nilai ketinggian hilal dari ufuk hakiki kemudian ditambahkan koreksi-koreksi terhadap nilai ketinggian itu. Koreksi-koreksi tersebut adalah kerendahan ufuk, refraksi, semi diameter (jari-jari) dan parallaks (beda lihat).
f.        Aliran yang berpedoman kepada posisi hilal yang mungkin dapat di rukyah (imkanur rukyah).
Untuk menetapkan masuknya awal bulan baru, aliran ini mengemukakan, bahwa pada saat matahari terbenam setelah terjadi ijtima’, hilal harus mempunyai posisi sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk dapat dilihat. Para ahli yang termasuk golongan ini tidak sependapat tentang berapa ukuran ketinggian hilal yang mungkin dapat dilakukan rukyat bil fi’li. Ada yang mengatakan 80, 70, 60, 50, dan lain sebagainya.
Disamping ukuran ketinggian sebagai syarat untuk dapat terlihatnya hilal, adapula yang menentukan unsur lainnya. Dalam konferensi internasional tentang penentuan awal bulan Qamariyah yang diadakan di Turki tahun 1978 dinyatakan bahwa untuk dapat terlihatnya hilal ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu ketinggian hilal di atas tidak kurang dari 50 dan sudut pandang (angular distance) antara hilal dan matahari tidak kurang dari 80.



C.           RUKYAT
1.          Pengertian ru’yat
Gambar. Rukhyatul Hilllal
Rukyat berasal dari bahasa Arab " ra'a-yara-rukyat " yang artinya "melihat". Hilal juga berasal dari bahasa Arab "al-hilal-ahillah" yaitu bulan sabit  (crescent)yang pertama terlihat setelah terjadinya "ijtimak". Ijtimak adalah bulan baru (new moon) disebut juga bulan mati. Ijtimak terjadi saat posisi bulan dan matahari berada pada jarak paling dekat. Secara astronomis, saat ijtimak terjadi maka bujur ekliptik bulan sama dengan bujur ekliptik matahari dengan arah penglihatan  dari pusat bumi (geosentris). Pada waktu tertentu peristiwa ijtimak juga ditandai dengan terjadinya gerhana matahari yaitu saat lintang ekliptik bulan berimpit atau mendekati lintang ekliptik matahari. Periode dari peristiwa ijtimak ke ijtimak berikutnya disebut "bulan sinodis" yang lamanya 29 hari 12 jam, 44 menit 2,8 detik.








Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop. Rukyat dilakukan setelah Matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah Matahari terbenam (maghrib), karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan cahaya Matahari, serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat, maka pada petang (maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru Hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maghrib hari berikutnya.
Kriteria Danjon (1932, 1936) menyebutkan bahwa hilal dapat terlihat tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (arc of light) antara Bulan-Matahari sebesar 7 derajat.Perlu diketahui bahwa dalam kalender Hijriyah, sebuah hari diawali sejak terbenamnya matahari waktu setempat, bukan saat tengah malam.Sementara penentuan awal bulan (kalender) tergantung pada penampakan (visibilitas) bulan.Karena itu, satu bulan kalender Hijriyah dapat berumur 29 atau 30 hari.

2.     Kriteria Penentuan Awal Bulan
Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan berjalan (kalender) digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari. Kriteria ini digunakan antara lain oleh organisasi NU. Sayangnya, ketentuan usia hilal, tinggi Bulan, dan sudut elongasi minimum agar bulan dapat dilihat dengan mata ini masih ada beda pendapat. Dikutip dari kstars-untuk-hisab-rukyat-plus-teori.pdf (online) Salah satu pendapat datang dari anggota Badan Hisab dan Rukyat Indonesia, T. Djamaluddin: Pertama, umur hilal minimum 8 jam sejak ijtimak. Kedua, tinggi bulan minimum tergantung beda azimut Bulan-Matahari. Bila bulan berada lebih dari 6 derajat, tinggi minimumnya 2,3 derajat. Tetapi bila Bulan tepat berada di atas Matahari, tinggi minimumnya 8,3 derajat. Tanggal 1 menurut kriteria Rukyatul Hilal


Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima' qablal ghurub), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset). Jika dua prinsip itu dipenuhi, maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari terbenam. Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh organisasi Muhammadiyah.

Imkanur Rukyat adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah, dengan prinsip: awal bulan (kalender) Hijriyah terjadi jika pada saat matahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di atas cakrawala minimum 2°, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari minimum 3°, atau pada saat Bulan terbenam, usia Bulan minimum 8 jam
dihitung sejak ijtimak. Prinsip ini diikuti antara lain oleh organisasi Persis Persatuan Islam). Di samping metode Imkanur Rukyat di atas, juga terdapat kriteria lainnya yang serupa, dengan besaran sudut/angka minimum yang berbeda.


Rukyat Global adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang menganut prinsip: jika satu penduduk negeri melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa (dalam arti luas telah memasuki bulan Hijriyah yang baru) meski yang lain mungkin belum melihatnya.

3.     Faktor Yang Mempengaruhi Terlihatnya Hilal
Dalam praktek ru’yah Hilal, berhasil atau tidaknya suatu Hilal dapat terlihat, tergantung dari beberapa faktor, yaitu :
Ø  Tingkat pengamatan (baik atau buruk) orang yang melihat Hilal
Ini adalah faktor dari sisi manusia. Pengetahuan dan pemahaman tentang Hilal yang bagus, tingkat pengamatan yang baik serta pekanya mata orang yang melihat Hilal bahkan faktor psikologis pengamat akan menjadi faktor keberhasilan Hilal dapat terlihat. Alat bantu yang digunakan dalam melihat Hilal juga termasuk dalam faktor ini.
Ø  Ukuran dan cahaya Hilal
Ini adalah faktor dari sisi Hilal. Semakin besar maka akan semakin mungkin Hilal dapat terlihat. Faktor ini juga berkaitan erat dengan faktor berikutnya.
Ø  Cuaca
Ini adalah faktor dari sisi alam.Cuaca, transparansi udara mempengaruhi terlihat atau tidaknya Hilal. Cuaca yang tidak mendung atau hujan, tingkat penyerapan cahaya Hilal oleh atmosfir, tingkat penyebaran cahaya di dalam atmosfir, transparansi udara yang bersih akan menjadi beberapa faktor keberhasilan Hilal dapat terlihat.
Ø  Lokasi / Geografis
Suatu lokasi pengamatan yang sedang turun hujan, pada lokasi pengamatan

D.     ISTIKMAL
Istikmal secara bahasa adalah menyempurnakan. Yaitu, menyempurnakan Sya’ban Menjadi 30 Hari, Masuknya bulan Ramadhan dapat pula ditetapkan melalui penyempurnaan bulan Sya’ban menjadi 30 hari, sebagaimana keluarnya bisa juga ditetapkan dengan menyempurnakan bulan Ramadhan menjadi 30 hari. Hal ini dilakukan pada saat tidak bisa dilakukan ru’yah al-Hilal, baik saat masuk maupun keluarnya bulan Ramadhan. Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ” Berpuasalah kalian karena melihat (hilal bulan Ramadhan) dan berbukalah karena melihatnya pula. Dan jika awan menaungi kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari…”
Hal ini dikuatkan lagi dengan hadist:
(1) Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebut Ramadhan, lalu beliau bersabda: ” Janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal (bulan Ramadhan) dan jangan pula kalian berbuka (tidak berpuasa) sehingga kalian melihatnya. Jika awan menyelimuti kalian maka perkirakanlah untuknya…” (HR. al-Bukhari dan Muslim.Shahih al-Bukhari, III/24, dan Shahih Muslim, III/122).
(2) Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbuka (tidak berpuasa) karena melihatnya pula. Dan jika awan (mendung) menutupi kalian, maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.”.(HR. al-Bukhari, III/24; dan Muslim, III/24).

D.     ARAH KIBLAT
1.      Pengertian Arah Kiblat
Kiblat berasal dari bahasa Arab ( ﺔﻠﺒﻗ ) yang bermakna adalah arah yang merujuk ke suatu tempat  dimana  berada  bangunan  Ka’bah  yang  terletak  di  tengah-tengah  Masjidil  Haram, Makkah, Arab Saudi. Ka’bah juga sering disebut dengan Baitullah (Rumah Allah). Menghadap arah Kiblat merupakan suatu permasalahan yang sangat penting dalam syariat Islam. Menurut hukum syariat, menghadap ke arah kiblat diartikan sebagai seluruh tubuh atau badan seseorang menghadap ke arah Ka'bah yang terletak di Makkah yang merupakan pusat tumpuan umat Islam.
 Bagi kesempurnaan ibadah-ibadah tertentu. Pelaksanaan shalat bagi umat Islam adalah suatu hal yang wajib dan sangat fundamental, maka sebagai salah satu konsekuensinya adalah penentuan arah kiblat yang benar harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Syeikh Daut Patani  menyatakan bahwa mengetahui arah kiblat sama wajibnya dengan mengetahui  fardlu wudlu. Dalam Pedoman Hidup Islami dinyatakan: "Setiapumat Islamwajib untuk menguasai dan memiliki keunggulan dalam kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sarana kehidupan yang penting untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat".

2.      Ijtihad Arah Kiblat
Para Ulama sepakat  bahwa bagi orang-orang yang melihat Ka’bah wajib baginya menghadap dengan penuh yakin (Ainul Ka’bah). Sementara itu, bagi mereka yang tidak bisa melihat Ka’bah maka para ulama berbeda pendapat. Selain Syafi’iyah berpendapat cukup dengan menghadap arah ka’bah (Jihatul Ka’bah) sehingga arah kiblat di sini bersifat Dzan. Sementara Syafi’iyah berpendapat bahwa tetap diwajibkan bagi yang jauh dari Mekkah untuk mengenai Ainul Ka’bah yakni wajib menghadap Ka’bah sebagaimana yang diwajibkan pada orang-orang yang melihat langsung Ka’bah. Bagi yang tidak tahu arah dan ia tidak dapat mengira kemana arah Kiblat maka baginya  wajib taqlid  pada petunjuk yang ada.

Ijtihad arah kiblat digunakan dalam rangka menentukan arah kiblat  sebisa  mungkin  mendekati  Ainul  Ka’bah  bagi seseorang yang berada di luar tanah haram (Makkah) atau bahkan  di  luar  negara  Arab  Saudi.seperti  Indonesia.  Di kawasan  ini  ijtihad sederhana arah kiblat dapat ditentukan diantaranya  dengan  menggunakan Kompas,  Rasi  Bintang, Bayangan Matahari, Arah Matahari Terbenam. Kaidah lebih modern  adalah  menggunakan  perhitungan  falak atau astronomi  dengan  dibantu pengukurannya  menggunakan peralatan  modern  seperti  Kompas,  GPS,  Theodolit  dan sebagainya. 
3.           Pengukuran Arah Kiblat
a.       Dengan Kompas
1.      Kompas Magnetik
Kompas ini adalah alat yang digunakan untuk keperluan mencari arah mata angin.  Kompas  magnetik  bekerja  berdasarkan kemuatan  magnet  bumi  yang  membuat  jarum  magnet  yang terdapat pada jenis kompas megnetik ini selalu menunjuk ke arah Utara dan Selatan. Kompas magnetik yang memiliki ketelitian cukup tinggi namun harganya cukup mahal diantaranya  jenis  Suunto,  Forestry  Compass  DQL-1,  Brunton, Marine,  Silva,  Leica,  Furuno  dan  Magellan.  Beberapa  jenis kompas yang dijual di pasaran terutama jenis military compass (kompas bidik) terbukti banyak menunjukkan penyimpangan antara 1° hingga 5°  dari angka yang ditunjukkan oleh jarumnya.  
 Karena  kelemahan  utama  kompas  jenis  magnetik  adalah  ia  begitu  mudah  terpengaruh  oleh benda-benda yang bermuatan logam sehingga sangat tidak dianjurkan menggunakan kompas jenis ini masuk ke dalam bangunan yang mengandung banyak besi-besi beton. Kompas magnetik dalam  praktisnya  juga  sangat  dipengaruhi  oleh  atraksi  medan  magnetik  lokal  dan deklinasi/variasi magnetik secara global. Nilai variasi magnit itu berbeda-beda tergantung pada posisi tempatnya. Harga variasi magnit untuk wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke nilai variasi magnetik antara  -1° s/d +5° dan selalu berubah setiap tahunnya walaupun kecil. Yogyakarta tahun 2010 memiliki deklinasi  magnetik sebesar +1,2° berarti titik Utara Sejati berada  di  sebelah  Barat  dari  Utara  Magnit  (kompas)  sebesar  1,2°.  Sehingga  pada  setiap pengukuran angka azimuth harus dikoreksi angka deklinasi tersebut
Peta Deklinasi/Variasi Magnetik Indonesia (epoch 2008)

Sebelum  digunakan  sebaiknya  kompas  dikalibrasi  terlebih  dahulu.  Kalibrasi  adalah membandingkan hasil pengukuran suatu alat dengan alat lain yang dijadikan standard. Kalibrasi kompas tentunya harus menggunakan peralatan yang lebih teliti misalnya menggunakan GPS atau  Theodolit.  Kalibrasi  juga  dapat  dilakukan  dengan  menggunakan  posisi  matahari  terbit maupun terbenam pada saat-saat tertentu misalnya saat matahari terbit dan terbenam tepat di arah Timur dan Barat. Kalibrasi juga dapat dilakukan dengan mengukur masjid yang sudah sesuai arah kiblatnya. Oleh karenanya, pengukuran Arah Kiblat dengan kompas memerlukan extra hati-hati dan penuh kecermatan,  mengingat  jarum  kompas  itu  kecil  dan  peka  terhadap  medan  magnit.  Untuk mendapatkan  informasi  data  variasi  magnit  dapat  menghubungi  BMKG  atau  Kementerian Agama setempat. Untuk menentukan arah kiblat menggunakan kompas biasa dapat dilakukan sebagai berikut :
Ø  Sediakan  karton  dengan  ukuran  50x50 cm dan berilah garis bersilang sepanjang sumbunya  yaitu  sumbu  Utara-Selatan dan dan sumbu Barat-Timur. Kemudian pasang kompas di atas karton. 
Ø  Letakkan karton dengan kompas tersebut di  atas  permukaan  yang  datar  dan pastikan  terbebas  dari  pengaruh  logam maupun  medan  magnet  lain  di sekitarnya.
Ø  Tunggu  sampai  jarum  kompas  tidak bergerak  dan  putar  karton  sehingga jarum  kompas  menunjuk  tepat  arah Utara Magnetik.
Ø  Dengan ini kita telah mendapatkan arah Utara-Selatan  dan  Barat-Timur Magnetik.
Ø  Selanjutnya  untuk  menentukan  arah kiblatnya maka sudut arah kiblat harus dikoreksi  terlebih  dahulu  terhadap variasi magnetik dengan rumus:
 (Sudut Kiblat Magnetik = Sudut Azimut Kiblat - Deklinasi Magnetik) sehingga Sudut Kiblat Magnetik = 24,7°- 1,2° = 23,5° dari B ke U. Tangen arah kiblat magnetik tg 23,5° = 43,5 cm. Artinya setiap 100 cm ke arah Barat maka ke Utara  sebesar  43,5  cm  untuk  mendapatkan  arah  kiblatnya.  Pengukuran  sudut  ini  juga  bisa dilakukan dengan bantuan Busur Derajat Besar yang banyak dijual di Toko Alat Tulis.
2.      Kompas Kiblat Arab

Kompas kiblat yang banyak dijual di pasaran menggunakan prinsip ”index kota” yaitu sudut simpangan arah kiblat dari suatu kota terhadap arah Utara magnetik. Menggunakan kompas model ini sebenarnya bukan pilihan yang baik sebab ada beberapa kelemahan.  Diantaranya adalah  kompas  yang  digunakan  adalah kompas  biasa  sehingga  hasilnya  kurang presisi, skala kompas menggunakan skala gon  (0-400)  sehingga  kurang  familier, index  kota  banyak  yang  salah  (termasuk Yogyakarta),  perhitungannya  masih menggunakan  segitiga  datar  dan  tidak memperhitungkan  deklinasi  magnetik dan  kompas  belum  terkalibrasi  dengan baik. Namun demikian untuk kepentingan yang sifatnya  darurat,  individual  atau sementara  kompas  jenis  ini  bisa digunakan. 
Untuk menggunakannya letakkan kompas di  tempat  yang  datar  dan  jauhi  bahan-bahan  yang  mengandung  besi/magnet. Lihat  angka  index  kota  pada  buku  yang disertakan.  Putarlah  kompas  sehingga jarum  merah  (Utara)  menunjuk  pada  angka  index  kota  tersebut.  Bisanya  kompas  kiblat menggunakan jenis kompas berisi cairan peredam gerak jarum. Arah kiblat ditunjukkan oleh bagian kompas yang lancip bergambar menara. Untuk  menghitung “index kota” atau sudut arah kiblat yang benar dapat dilakukan dengan cara konversi  dan  koreksi  deklinasi  magnetik.
Misalnya  untuk  Yogyakarta  azimuth  kiblat  adalah 294,7°. Karena pengukuran menggunakan kompas magnetik maka angka ini harus dikoreksi dengan  deklinasi  magnetik  Yogyakarta  (1,2°E)   sehingga  azimuth  kiblat  terhadap  titik  Utara Magnetik  adalah 293,5° (294,7°-1,2°).  Didapatkan  sudut  arah  kiblat  dari  Utara  Magnetik sebesar 65,5° (360°-293,5°). Untuk menjadi “index kota” angka sudut dalam satuan derajat ini ini selanjutnya harus dikonversi menjadi sudut dalam satuan “Gon”. Sehingga akan didapatkan angka  index  untuk  kota  Yogyakarta  adalah 73  didapatkan  dri  65,5  x  400/360=72,78 à dibulatkan menjadi 73 Gon.
3.      Kompas Kiblat Rhi
Kompas Kiblat RHI  merupakan salah satu aplikasi kompas untuk pengukuran arah kiblat. Kompas ini dilengkapi petunjuk praktis cara pemakaian serta daftar Azimut arah kiblat untuk kota provinsi di Indonesia yang sudah dikoreksi dengan deklinasi magnetik setempat. Kompas ini juga dilengkapi dengan 2 jenis skala yaitu derajat (°) 0°-360° dan skala Gon (0-400).  Sebagai alat ukur kiblat, kompas ini hanya cocok  digunakan  untuk  pengukuran tempat  shalat  di  kamar  rumah-rumah. Namun demikian sekedar untuk  mengira apakah  masjid  kita  sudah  tepat  arah kiblatnya alat ini bisa menjadi pertolongan pertama.
Cara penggunaan kompas:
Ø Tentukan Angka Azimut Arah Kiblat Magnetik  kota  di  tempat  melakukan pengukuran.  (lihat  daftar  melingkar). Misalnya Yogyakarta = 293,5°
Ø Bentang kompas di tempat datar dan pastikan tidak terpengaruh oleh medan magnetik maupun logam di sekitarnya.
Ø Amati  jarum  kompa  sampai  betul-betul diam dan putar alat sehingga jarum kompas tepat menunjuk di arah Utara (0°/360°).
Ø Tahan posisi alat agar tidak bergerak dan tarik benang merah ke Angka Azimut Arah Kiblat kota sesuai yang ada dalam daftar. (293,5°)
Ø Arah benang merah ini adalah Arah Kiblat.
Ø Jika arah kibla t sudah diketahui maka untuk membuat garis shaff dapat dilakukan dengan menarik benang merah tegak lurus arah kiblat tersebut baik yang ke kanan maupun ke kiri. Untuk shaff yang ke kanan 23,5° dan yang ke kiri  213,5°.

b.      Pengukuran Arah Kiblat Dengan Kaidah Matahari
1.      Istiwa Utama Matahari Di Atas Ka’bah 
Istiwa Utama atau Istiwa A’dhom adalah  melintasnya Matahari  melewati titik tepat di atas kepala (Zenit) suatu tempat. Istiwa sendiri adalah saat Matahari melewati meridian suatu tempat yang juga menjadi pertanda masuknya waktu Zuhur. Akibat sumbu Bumi miring 66,5˚ terhadap bidang orbitnya menyebabkan selama setahun Matahari terlihat bergeser posisinya. Pergeseran ini antara 23,5˚ LU pada bulan Juni sampai 23,5˚ LS pada bulan Desember. Saat sudut deklinasi Matahari sama dengan nilai Lintang suatu tempat maka di tempat tersebut terjadi Istiwa Utama. 
Selama setahun Matahari berada tepat di atas Ka’bah akan terjadi selama 2 kali yaitu pada tanggal 28 Mei pukul 12.18 Waktu Makkah (16.18 WIB) dan 16 Juli sekitar pukul 12.27 Waktu Makkah (16.27 WIB). Saat itulah arah Matahari yang kita lihat adalah arah kiblat yang tepat.  Untuk mempermudah, pengukuran dapat dilakukan dengan menggunakan sebatang tongkat yang didirikan secara tegak di tempat yang mendapat sinar Matahari. Saat peristiwa Istiwa Utama terjadi maka bayangan tongkat adalah arah kiblat yang benar.
2.         Kompas Matahari Terbenam
Selama  setahun  Matahari  berubah  posisi dari  Utara  ke  Selatan  dan  sebaliknya. Posisi  tersebut  sering  disebut  sebagai Gerak  Musim  Matahari.  Equinox  adalah saat dimana posisi matahari berada tepat di  Ekuator  atau  garis  katulistiwa.  Ini adalah  bagian  dari  siklus  tahunan pergerakan  harian  semu  matahari  saat terbit,  melintas  dan  terbenam  yang disebabkan oleh kemiringan sumbu bumi terhadap  bidang  orbitnya  yaitu  sebesar 66.56°.  Selama  setahun  terjadi  dua  kali Equinox yaitu Maret Equinox yang terjadi setiap  tanggal  21  Maret  dan  September Ekuinox yang terjadi setiap tanggal 23 September.  Saat terjadi peristiwa Equinox posisi Matahari terbenam akan tepat berada di titik Barat sehingga dengan menambah sudut kemiringan arah kiblat terhadap titik Barat maka arah kiblat yang sesungguhnya kan kita dapatkan.  
Selain Equinox matahari juga akan berada di titik paling Utara pada 21 Juni dan berada di titik paling Selatan pada 22 Desember yang dikenal dengan istilah Solstice. Pada saat Juni Solstice, Matahari akan terbenam tepat di sudut serong terhadap arah Barat sebesar 23,5° ke arah Utara sehingga  untuk  menuju  ke  arah  kiblat  yang  tepat  dapat  tinggal  menambahkan  kekurangan penyerongan angka arah kiblat yang didapatkan dari hasil perhitungan menggunakan rumus segitiga bola. Sedangakan pada saat Desember Solstice matahari terbenam di Selatan titik Barat sebesar 23,5°.

3.      Kiblat Harian Bayang Matahari
Kecuali menggunakan posisi Matahari saat Istiwa A’dhom tersebut  posisi harian Matahari dapat juga digunakan sebagai pemandu arah kiblat, baik saat posisi bayangan Matahari menjauhi arah kiblat (sore) maupun saat bayangan Matahari menuju arah kiblat (pagi).  Begitu juga terhadap benda-benda langit yang lain. Mereka juga dapat digunakan sebagai pemandu arah kiblat asalkan kita mengetahui kedudukan benda-benda langit tersebut. Diantaranya adalah posisi Bulan, posisi Planet dan posisi Bintang tertentu juga dapat digunakan sebagai pemandu arah.
Prinsip dari panduan ini adalah  : Azimuth Arah Kiblat  =   Azimuth Matahari atau Bayangannya pada hari itu. Untuk mengetahui azimuth posisi benda-benda langit tersebut dapat digunakan software-software astronomi mengenai posisi benda langit seperti Starrynight, Stellarium, Sky View Cave, Cybersky.  Tabel Azimuth Bayang-bayang Kiblat untuk wil
Posisi Matahari dan bayangannya waktu pagi dan sore saat bersesuaian dengan arah kiblat.





BAB III
AYAT AL-QU’AN YANG BERHUBUNGAN DENGAN MATERI

Di dalam al-Qur’an surah Yunus (10):5, Allah memberikan petunjuk tentang peran matahari dan bulan  sebagai sarana untuk mengetahui perhitungan waktu. Bunyi ayat  tersebut sebagai berikut:

Penjelasan :
Setelah  Allah menerangkan tanda kebenaran langit dan bumi yang telah diciptakan-Nya pada ayat sebelumnya, maka Allah Ta’ala menerangkan juga tentang kejadian langit dan bulan yang telah diciptakan-Nya. Segala tanda kejadian matahari,bulan adalah untuk memberi sinaran cahaya yang banyak faidahnya terutama waktu pagi hari dan diberikan bulan cahaya untuk menerangkan waktu malam segala kejadian itu datangnya dari Allah Ta’ala.
Allah ta’ala telah menempatkan tempat-tempat perjalanan bulan itu mengikut waktunya melalui peredarannya.Tiap-tiap satu malam mengedari satu tempat perhentian sedikitpun tidak berselisih .Tempat-tempat perhentian bulan itu banyaknya 28 manzilah yang dikenal oleh orang-orang arab  akan namanya masing-masing. Bulan itu dapat dilihat dengan mata kasar selama 28 malam  kecuali satu atau dua malam saja dlam satu bulan ,bulan itu tidak kelihatan karena terlindung.
Dengan menetapkan perjalana matahari  terbukti dalam mengetahui bilangan tahun masehi atau juga tahun hijriyah,bila masanya bermula dan berakhir pula,kita dapat menghitung perkiraan hari,bulan,minggu,dan masa siang dan malam.Faedah- faedah dari perubahan matahari dan bulan  boleh menjadi pedoman untuk menetapkan waktu-waktu didalam perkara ibadah ,waktu siang bermula puasa,dan mula menunaikan haji.segala kejadian yang Allah menjadikan semuanya  tidaklah menjadi sia-sia malahan menunjukan tentang kekuasaan-Nya dan menjadi bukti keesaan-Nya.
 Dan Allah telah smenerangkan tentang keesaan-Nya kepada kmu yang mengetahui dan mengetahui sesuatu dalil sehingga mereka dapt membedakan mana yang benar dan mana yang salah dan yang berfaedah dengan yang mendatangkan madharat.
Selain itu ada keterangan dalam Qs.Al-baqarah(2) ayat 189, yang berbunyi:
مِنْالْبُيُوتَأْتُوابِأَنْلْبِرُّوَلَيْسَوَالْحَجِّلِلنَّاسِمَوَاقِيتُلِهِيَقُلْالْأَهِلَّةِعَنِيَسْأَلُونَكَتُفْلِحُونَلَعَلَّكُمْاللَّهَوَاتَّقُواأَبْوَابِهَامِنْالْبُيُوتَوَأْتُوا اتَّقَىمَنِالْبِرَّوَلَكِنَّظُهُورِهَا

Artinya:   Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah:` Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebaktian memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaktian itu ialah kebaktian orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.(QS. 2:189)
Penjelasan :
Pada ayat ini Allah mengajar Nabi Muhammad saw. menjawab pertanyaan sahabatnya tentang guna dan hikmah "bulan" bagi umat manusia, yaitu untuk keperluan perhitungan waktu dalam melaksanakan urusan ibadah mereka seperti salat, puasa, haji dan sebagainya dan juga urusan dunia yang diperlukan. Allah menerangkan perhitungan waktu itu dengan perhitungan bulan Qamariah, karena lebih mudah dari perhitungan menurut peredaran matahari (Syamsiah) dan lebih sesuai dengan tingkat pengetahuan bangsa Arab pada zaman itu. 
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa banyak dari golongan kaum Ansar apabila mereka telah mengerjakan ihram haji, maka mereka tidak mau lagi memasuki rumah dari pintunya yang biasa tetapi memasukinya dari belakang. Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa kebaktian atau kebajikan itu bukanlah menuruti perasaan dan tradisi yang berbau khurafat, seperti memasuki rumah dari belakang tetapi kebaktian atau kebajikan itu ialah bertakwa kepada Allah swt. Dan ditetapkan kepada mereka agar memasuki rumah dari pintunya.


Dalil-dalil yang berkaitan dengan arah kiblat :
Dalil Al Qur'an
"Sungguh  Kami  (sering)  melihat  mukamu  menengadah  ke  langit,  maka  sungguh  Kami akan  memalingkan  kamu  ke  kiblat  yang  kamu  sukai.  Palingkanlah  mukamu  ke  arah Masjidil  Haram.  Dan  dimana  saja  kamu  berada,  palingkanlah  mukamu  ke  arahnya.  Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang  mengetahui,  bahwa  berpaling  ke  Masjidil  Haram  itu  adalah  benar  dariTuhannya;  dan  Allah  sekali-kali  tidak  lengah  dari  apa  yang  mereka  kerjakan"  (Q.S.  Al-Baqarah, 2 : 144).

b. Hadis
"Nabi  Muhammad  saw.  bersabda  :"Bila  kamu  hendak  mengerjakan  salat,  hendaklah menyempurnakan  wudlu  kemudian  menghadap  kiblat  lalu  takbir  "  (H.R.  Bukhari  dan Muslim).










2 komentar:

Zuhri Syaifudin mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Zuhri Syaifudin mengatakan...

kak....dari buku mana anda dapat istilah bulan sabit awal dan bulan sabit akhir

Posting Komentar

Pengikut

Kalender

Tong Hilap Waktu Sholat